I.
Sejarah perkembangan kawasan pemanfaatan
Kawasan Pemanfaatan merupakan
kawasan teknologi pembelajaran tertua diantara kawasan-kawasan yang lain,
karena penggunaan bahan audiovisual secara teratur mendahului meluasnya
perhatian terhadap desain dan produksi media pembelajaran yang sistematis.
Kawasan pemanfaatan berasal dari gerakan pendidikan visual yang tumbuh subur
selama dekade
pertama abad ini dengan didirikannya museum-museum sekolah. Selama tahun-tahun
awal abad ke-20, guru-guru mulai berupaya untuk menggunakan film teatrikal dan
film singkat mengenai pokok pembelajaran di ruangan kelas. Dengan demikian
terciptalah pasar bagi film yang dirancang khusus bagi tujuan pendidikan.
Pada
tahun 1923 anggaran dana pendidikan visual dalam
sistem persekolahan kota di amerika telah mencakup
projector, stereopticons, persewaan film dan lentera film bingkai (lantern slides). diantara penelitian
formal yang paling tua mengenai aplikasi media dalam pendidikan ialah study
penelitian dari lashley dan Watson mengenai penggunaan film-film pelatihan
militer pada perang
dunia I dengan sasaran orang-orang sipil. Titik pusat perhatian utama dari kegiatan tersebut adalah menemukan cara bagaimana film-film tersebut dapat digunakan dengan efek yang paling baik. Penelitian dari Mc Cluskey dan Hoban pda tahun 1930an juga memusatkan perhatian utamanya pada pengaruh pemanfaatan film dalam kelas. (seatler dalam seels dan richy, 1994).
dunia I dengan sasaran orang-orang sipil. Titik pusat perhatian utama dari kegiatan tersebut adalah menemukan cara bagaimana film-film tersebut dapat digunakan dengan efek yang paling baik. Penelitian dari Mc Cluskey dan Hoban pda tahun 1930an juga memusatkan perhatian utamanya pada pengaruh pemanfaatan film dalam kelas. (seatler dalam seels dan richy, 1994).
Selama
tahun 1960an banyak sekolah dan perguruan tinggi mulai mendirikan pusat-pusat
media pembelajaran, dan proyek-proyek kurikulum yang memasukkan media mulai
tersedia. Ini semua memberikan kontribusi terhadap kawasan pemanfaatan.
Pertumbuhan
teori selama tahun-tahun 1970an dan 1980an menghasilkan beberapa buku teks
tentang pemilihan media. Proses pemilihan media disajikan melalui model desain
pembelajaran karena model tersebut sistematis (reynold dan Anderson dalam seels dan richy, 1994).
Pemilihan media merupakan salah satu langkah dalam mendesain system
pembelajaran . jadi bilamana guru memilih media, maka artinya dia sedang melakukan fungsi desain pembelajaran,
bukan fungsi pemanfaatan.
Pemilihan
media begitu dekat hubungannya dengan pemanfaatan sehingga menyebabkan
terjadinya tumpang
tindih antara kawasan desain dan kawasan pemanfaatan bila pemilihan media
dilakukan menurut proses desain yang sistematis, maka hal tersebut dimasukkan dalam
tugas desain. Sebaliknya, bila menurut isi materi
atau karakteristik media yang menggunakan proses desain yang lebih sederhana, maka termasuk dalam tugas pemanfaatan.
Jadi, disini kita melihat lagi sifat
taksonomi yang terpadu dari defenisi bidang teknologi pembelajaran tahun
1994.
Selama
bertahun-tahun, kawasan pemanfaatan dipusatkan pada aktifitas guru dan ahli
media yang membantu guru. Model dan teori dalam kawasan pemanfaatan cenderung
berpusat pada perspektif pengguna. Akan tetapi, dengan diperkenalkannya konsep
difusi inovasi pada akhir tahun 1960an yang mengacu pada proses komunikasi dan
melibatkan pengguna dalam mempermudah proses adopsi suatu gagasan, perhatian
kemudian berpaling ke
perspektif penyelenggara. Timbulnya bidang ini dipengaruhi oleh terbitnya buku diffusion of invation karangan Everett
M.rogers pada tahun 1992.
Defenisi
AECT tahun 1977 menggabungkan pemanfaatan dan desiminasi menjadi satu fungsi,
yaitu pemanfaatan-desiminasi. Tujuan dari fungsi tersebut adalah
“memperkenalkan pebelajar dengan informasi yang berhubungan dengan teknologi
pendidikan” (AECT dalam seels dan richy,
1994). Defenisi tahun 1977 juga memasukkan
suatu fungsi pemanfaatan tersendiri dengan defenisi yang sama “memperkenalkan
pebelajar dengan sumber belajar dan komponen system pembelajaran. Dalam
defenisi tahun 1994, tugas desiminisi, yang berarti “usaha yang secara sengaja
dan sistematis untuk membuat orang lain sadar akan adanya suatu perkembangan
dengan cara menyebarkan informasi” dimasukkan ke dalam difusi sebagai sub
kategori inovasi dari kawasan pemanfaatan.
Begitu
produk inovasi telah diadopsi, proses implementasi dan pemanfaatan dimulai.
Untuk menilai inovasi harus ada implementasi. Walaupun menurut literatur desain
pembelajaran tahap pelaksanaan merupakan langkah sebelum penilaian, namun tidak
harus merupakan keharusan bahwa langkah tersebut dilakukan sebelum spesifikasi
pembelajaran ditentukan. Sebagai konsekuensinya, sedikit sekali literatur yang
membahas proses implementasi. Sebagaimana halnya dengan penilaian sumatif dan
rancangan difusi, rancangan pelaksanaan sering diabaikan karena kurangnya waktu
dan dana.
Secara historis, kawasan mempunyai kebijakan dan aturan
sendiri. Akan tetapi kawasan pemanfaatanlah yang paling terkena oleh
kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan tersebut. Minsalnya pada Program televisi
yang penggunaannya diatur sangat ketat, sehingga tidak bisa dipergunakan
seenaknya saja. Hukum hak cipta dikenakan pada penggunaan teknologi cetak,
teknologi audiovisual, teknologi berbasis komputer dan teknologi terpadu.
Kebijakan dan peraturan pemerintah sangat mempengaruhi penggunaan teknologi
dalam kurikulum. Jadi studi dan praktek tentang pelembagaan dapat terlibat
dalam permasalahan perumusan kebijakan, perilaku politik, pengembangan
organisasi, etika dan prinsip-prinsip ekonomi. Kesimpulannya adalah bahwa Lembaga
pendidikan sangat memerlukan penyesuaiaan dalam hukum, perundangan maupun
kebijakan-kebijakan lainnya pada tingkat lokal atau pada tingkat yang lebih
tinggi.
II.
Pentingnya Fungsi Kawasan Pemanfaatan
Fungsi kawasan pemanfaatan adalah untuk memperjelas hubungan
antara pebelajar dengan sistem pembelajaran. Fungsi kawasan pemanfaatan sangat
penting karena membicarakan tentang kaitan pebelajar dengan bahan atau sistem
pembelajaran. Jelas fungsi ini sangat kritis karena penggunaan oleh pebelajar
merupakan satu-satunya raison d’etre dari
bahan pembelajaran. Mengapa kita harus bersusah payah dengan pengadaan dan
pembuatan bahan apabila tidak akan kita gunakan? Jadi Kawasan pemanfaatan ini
mempunyai jangakauan aktivitas dan strategi belajar yang luas.
Dengan demikian kawasan pemanfaatan menutut adanya
penggunaan, deseminasi, difusi, implementasi dan pelembagaan yang sistematis.
Akan tetapi hal tersebut sering kali dihambat oleh kebijakan dan peraturan. ada
empat kategori dalam kawasan pemanfaatan yaitu pemanfaatan media, difusi
inovasi, implementasi, institusionalisasi (pelembagaan), serta kebijakan dan
regulasi.
III.
Empat kategori dalam Kawasan Pemanfaatan
1.
Pemanfaatan Media
Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan proses dan
sumber untuk belajar. Mereka yang terlibat dalam pemanfaatan mempunyai tanggung
jawab untuk menocokkan pebelajar dengan bahan dan aktivitas yang spesifik,
menyiapkan pebelajar agar dapat berinteraksi dengan bahan dan aktivitas yang
dipilih, memberikan bimbingan selama kegiatan, memberikan penilaian atas hasil
yang telah dicapai oleh pebelajar, serta memasukannya kedalam prosedur
organisasi yang berkelanjutan.
Pemanfaatan media adalah penggunaan yang sistematis dari
sumber untuk belajar. Proses pemanfaatan media merupakan proses pengambilan
keputusan berdasarkan pada spesifikasi desain pembelajaran. Minsalnya,
bagaimana suatu film diperkenalkan atau ditindak lanjuti dan dipolakan sesuai
dengan bentuk belajar yang diinginkan. Prinsip-prinsip pemanfaatan juga
dikaitkan dengan karakteristik pebelajar. Seseorang yang belajar mungkin
memerlukan bantuan keterampilan visual atau verbal agar dapat menarik
keuntungan dari praktek atau sumber belajar.
2.
Difusi Inovasi
Difusi inovasi adalah proses berkomunikasi melalui
strategi yang terencana dengan tujuan untuk dapat diadopsi. Tujuan akhir yang
ingin dicapai adalah untuk tercapainya perubahan. Tahap pertama dalam proses
ini adalah membangkitkan kesadaran melalui desiminasi informasi. Proses
tersebut meliputi tehap-tahap seperti kesadaran, minat, percobaan dan adopsi.
Menurut Rogers (dalam Seels & Richi, 1994)
langkah-langkah difusi inovasi adalah meliputi pengetahuan, persuasi atau
bujukan, keputusan, implementasi dan konfirmasi. Secara khusus proses tersebut
mengikuti model proses komunikasi yang menggunakan alur multi-langkah termasuk
komunikasi yang menggunakan “gatekeepers”
atau penjaga lalu lintas informasi, minsalnya sekretaris, perantara dan “Opinion leaders” atau tokoh panutan.
3.
Implementasi dan Pelembagaan.
Implementasi adalah penggunaan bahan dan strategi pembelajaran
dalam keadaan yang sesungguhnya (bukan tersimulasikan). Sedangkan pelembagaan
adalah penggunaan yang rutin dan pelestarian dari inovasi pembelajaran dalam
suatu struktur atau budaya organisasi.
Implementasi dan pelembagaan sangat bergantung pada
perubahan individu maupun organisasi. Akan tetapi, tujuan dari implementasi
adalah menjamin penggunaan yang benar oleh individu dalam organisasi. Sedangkan
tujuan dari pelembagaan adalah untuk mengintegrasikan inovasi dalam struktur
dan kehidupan organisasi. Kegagalan pada masa silam dari proyek teknologi
pembelajaran seperti komputer dan televisi pembelajaran di sekolah, semakin
menekankan pentingnya perencanaan yang baik untuk perubahan individu maupun
untuk perubahan organisasi.
4.
Kebijakan dan Regulasi
Kebijakan dan regulasi adalah aturan dan tindakan dari
masyarakat (atau wakilnya) yang mempengaruhi difusi atau penyebaran dan
penggunaan Teknologi pembelajaran. Kebijakan dan peraturan biasanya dihambat
oleh permasalah etika dan ekonomi. Keduanya timbul sebagai akibat dari tindakan
yang dilakukan oleh individu atau dalam kelompok maupun luar kelompok. Dampak
pengaruh tersebut lebih pada praktek dari pada teori.
Bidang teknologi pembelajaran telah ikut berjasa dalam
penentuan kebijakan tentang televisi pembelajaran dan televisi masyarakat,
hukum hak cipta, standar peralatan dan program, serta pembentukan unit
administrasi yang mendukung Teknologi pembelajaran.
IV.
Kecendrungan dan Permasalahan dalam kawasan pemanfaatan
Kecendrungan dan permasalahan dalam kawasan pemanfaatan
umumnya berkisar pada kebijakan dan peraturan yang mempengaruhi penggunaan,
difusi, implementasi dan pelembagaan. Masalah lain yang berhubungan dengan
kawasan ini adalah bagaimana gerakan restrukturisasi sekolah dapat mempengaruhi
penggunaan sumber pembelajaran. Pertumbuhan yang pesat dari bahan dan sistem
yang berbasis komputer telah meningkatkan resiko politik dan ekonomi bagi yang akan
mengadakan adopsi terhadap bahan dan sistem tersebut.
V.
Penelitian
Teknologi Pembelajaran dalam
Kawasan Pemanfaatan.
Pada
mulanya gagasan tentang kawasan
pemanfaatan lebih berkonotasi pada aspek-aspek penggunaan, kemudian kawasan ini
berkembang dan mencakup pada difusi dan pemanfaatan pengetahuan, termasuk pula
peranan kebijakan public sebagai suatu mekanisme pelembagaan. Diluar bidang
teknologi pembelajaran, studi tentang pemanfaatan pada umumnya lebih diartikan
sebagai studi tentang pemanfaatan ilmu pengetahuan, dan ini banyak dipengaruhi
oleh hasil penelitan dan teori yang berkaitan dengan sejarah dan filsafat ilmu
sosiologi ilmu pengetahuan (dunn, holzner, dan zaltman dalam seels dan richy, 1994).
Prinsip ini telah melahirkan asumsi-asumsi penting bagi para pakar teknologi pembelajaran.
Asumsi
yang tumbuh adalah bahwa kawasan pemanfaatan
terbatasi oleh:
a) Kerangka
referensi masing-masing individu
b) Kondisi
sosial
c) Permasalahan
tentang keseluruhan system penerimaan
d) Tindakan
dari kelompok-kelompok yang berkomunikasi
Contoh
tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi pemanfaatan materi dan proses pembelajaran adalah sikap pebelajar
terhadap teknologi, tingkat indepedensi pebelajar dan faktor-faktor lain yang
dapat menghambat atau mendukung pemanfaatan media atau materi dalam konteks
system pembelajaran yang lebih luas.
Penelitian
pemanfaatan dalam teknologi pembelajaran banyak menyinggung masalah-masalah
seperti penggunaan media secara optimal, dan pengaruh media terhadap waktu yang
diperlukan untuk belajar.
(Thompson, simonson, dan hargrave dalam seels dan richy, 1994).
Pemanfaatan
banyak bergantung pada proses difusi. Dalam kaitan ini karya rogers (1962,1983 dalam seels dan
richy, 1994) memberikan kontribusi yang sangat
penting untuk memahami gejala difusi inovasi. Secara umum penelitian telah
mengidentifkasi variabel-variabel yang yang diduga banyak mempengaruhi
penerimaan ide-ide baru dan menjelaskan bagaimana proses penerimaan inovasi
baru tersebut dapat terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Seels,
Barbara B. & Richy, Rita C. 1994. Instructional Technology. Washington DC :
AECT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar