Kamis, 23 Mei 2013

KAWASAN EVALUASI

KAWASAN PENILAIAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
A.    Pengertian Penilaian
Dalam arti yang luas penilaian adalah aktivitas manusia sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu menakar nilai aktivitas atau kejadian berdasarkan kepada sistem penilaian tertentu. Pengembangan program pendidikan formal menuntut perlunya program penilaian yang bersifat formal pula. Penilaian program-program ini memerlukan penerapan prosedur yang lebih sistematik dan ilmiah.
Berikut ini adalah yang termasuk dalam kawasan penilaian :
PENILAIAN
Analisis Masalah
Pengukuran Beracukan Patokan
Penilaian Formatif
Penilaian Sumatif

Ahli kurikulum Ralph Tyler dikenal orang sebagai pencetus gagasan tentang penilaian pada tahun-tahun 1930an. Pada tahun 1965 hal tersebut terlihat dalam naskah “Ele
mentary and Secondary Education Act” (Undang-undang Pendidikan Dasar dan Menengah A.S) yang memberikan wewenang perlunya diadakan analisis kebutuhan dan penilaian untuk jenis-jenis program tertentu.
Pada akhir tahun 1960an Stufflebeam memperkenalkan pendekatan lain untuk penilaian yang sekarang menjadi karya klasik yaitu menelaah “bukan untuk membuktikan tapi untuk memperbaiki”.  Model Stufflebeam ini mengemukakan empat jenis penilaian : context, input, proses, and product (CIPP). Keempat unsur dalam model CIPP memberikan informasi yang masing-masing berhubungan dengan analisis kebutuhan, keputusan desain tentang isi dan strategi, petunjuk pelaksanaan, serta hasil penilaian (Branden, 1992 dalam seels and richy 1994).
Dalam pendidikan penilaian diartikan sebagai proses penentuan memadai tidaknya belajar dan pembelajaran. Penilaian dimulai dengan analisis masalah, Ini merupakan langkah awal yang penting dalam pengembangan dan penilaian pembelajaran karena tujuan dan hambatan dijelaskan pada langkah ini. Kegiatan penilaian dilakukan secara teliti, akurat, dan sistematis merupakan urusan bersama antara evaluator dan klien.

B.     Tujuan Penilaian
Tujuan penilaian ialah membantu pengambilan keputusan yang tepat, bukannya untuk menguji hipotesa. Dengan demikian, penelitian penilaian dan penelitian tradisional, dibedakan menurut beberapa karakteristik. Walaupun keduanya menggunakan instrument yang sama, namun tujuannya berbeda. Tujuan penelitian tradisional secara garis besar ialah peningkatan ilmu. Sedangkan tujuan penelitian penilaian adalah untuk mendapatkan data untuk pengambilan keputusan memperbaiki, memperluas, atau menghentikan suatu proyek, program, atau produk.

C.    Jenis Kawasan Penilaian
Dalam kawasan penilaian dibedakan pengertian antara penilaian program, penilaian proyek dan penilaian produk. Masing-masing merupakan jenis penilaian penting untuk perancang pembelajaran, seperti halnya penilaian formatif dan penilaian sumatif.
The Joint Committee on Standards for Educational Evaluation (Komisi gabungan standar penilaian pendidikan) pada tahun 1981 memberikan definisi untuk masing-masing jenis penilaian sebagai berikut :
1.      Penilaian Program
Penilaian program adalah evaluasi yang menaksir kegiatan pendidikan yang memberikan pelayanan secara berkesinambungan dan sering terlibat dalam penyusunan kurikulum. Sebagai contoh misalnya penilaian untuk program membaca dalam suatu wilayah persekolahan, program pendidikan khusus dari pemerintah daerah, atau suatu program pendidikan berkelanjutan dari suatu universitas.
2.      Penilaian Proyek
Yaitu evaluasi untuk menaksir kegiatan yang dibiayai secara khusus guna melakukan suatu tugas tertentu dalam suatu kurun waktu. Sebagai contoh, suatu lokakarya 3 hari mengenai tujuan perilaku atau suatu proyek demonstrasi pendidikan karir yang lamanya tiga tahunan.
Kunci perbedaan antara program dan proyek ialah bahwa program diharapkan berlangsung dalam waktu yang tidak terbatas, sedangkan proyek biasanya diharapkan berjangka pendek. Proyek yang dilembagakan dalam kenyataannya dijadikan program.
3.      Penilaian Bahan (Produk Pembelajaran)
Yaitu menafsir kebaikan atau manfaat isi yang menyangkut benda-benda fisik, termasuk buku, pedoman kurikulum, film, pita rekaman, dan produk pembelajaran lainnya yang dapat dipegang.

D.    Sub-Kawasan dalam Kawasan Penilaian
Dalam kawasan penilaian terdapat empat sub-kawasan, yaitu :
1.      Analisis Masalah
Analisis masalah mencakup cara penentuan sifat dan parameter masalah dengan menggunakan strategi pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan.
Jadi kegiatan penilaian meliputi identifikasi kebutuhan, penentuan sejauh mana masalahnya dapat diklasifikasikan sebagai pembelajaran, identifikasi hambatan, sumber dan karekateristik pebelajar, serta penentuan tujuan dan prioritas.
2.      Pengukuran acuan-patokan (PAP)
Pengukuran acuan patokan meliputi teknik-teknik untuk menentukan kemampuan pebelajar meliputi teknik-teknik menentukan kemampuan pebelajar menguasai materi yang telah ditentukan sebelumnya. Pengukuran acuan patokan, yang sering berupa tes, juga dapat disebut acuan isi, acuan tujuan, atau acuan kawasan. Sebab, kriteria tentang cukup tidaknya hasil belajar ditentukan oleh seberapa jauh pebelajar telah mencapai tujuan. PAP memberikan informasi tentang penguasaan seseorang mengenai pengetahuan, sikap, atau keterampilan yang berkaitan dengan tujuan.
3.      Penilaian formatif  dan Penilaian Sumatif
Penilaian formatif berkaitan dengan pengumpulan informasi tentang kecukupan dan penggunaan informasi sebagai dasar pengembangan selanjutnya. sedangkan penilaian sumatif berkaitan dengan pengumpulan informasi tentang kecukupan untuk pengambilan keputusan dalam hal pemanfaatan.
 Penekanan baik untuk penilaian formatif pada tahap-tahap awal dari pengembangan produk, maupun penilaian sumatif setelah kegiatan pembelajaran merupakan perhatian utama dari para teknolog pembelajaran.
Keseimbangan antara pengukuran kuantitatif dan kualitatif perlu mendapat perhatian yang cukup dalam penilaian formatif maupun sumatif. Pengukuran kuantitatif lazim berhubungan dengan angka-angka dan biasanya bekerja menurut gagasan pengukuran objektif. Pengukuran kualitatif lebih menekankan pada aspek-aspek subjektif dan bersifat pengkajian proyek. Hasil pengukuran kualitatif biasanya dilaporkan dalam bentuk uraian variabel.
4.      Kecenderungan dan permasalahan
Perhatian pada konteks jelas terlihat pada gerakan teknologi kinerja, teori belajar situasional dan pada pendekatan yang lebih sistemik terhadap desain. Sebagai konsekuensinya, tahap penilaian kebutuhan menjadi semakin penting. Disamping itu, banyak yang memberikan rekomendasi agar tahap penilaian kebutuhan tugasnya diperluas, tidak hanya berkonsentrasi pada isi, melainkan ditambah dengan penekanan baru pada analisis pebelajar, lingkungan, dan organisasi. Gerakan teknologi kinerja juga memberikan sumbangan penting pada penilaian kebutuhan yang baru ini. Pendekatan-pendekatan teknologi kinerja dapat memperluas peran para perancang mencakup identifikasi, permasalahan yang bukan bersifat pembelajaran serta bekerja sama dengan pihak lain untuk mendapatkan pemecahan masalah yang bersifat majemuk.
Gerakan perbaikan kualitas juga mempengaruhi kawasan penilaian. Pengendalian kualitas memerlukan penilaian yang berkelanjutan termasuk perluasan siklus di luar penilaian sumatif. Penilaian konfirmatif merupakan langkah logis berikutnya dalam siklus ini.
Bidang-bidang lain yang penting untuk diperhatikan ialah pengukuran untuk tujuan kognitif tingkatan tinggi, tujuan afektif, dan tujuan psikomotor. Penelitian tentang pengukuran acuan patokan  yang berasaskan komputer akan merangsang kawasan ini. Demikian juga halnya dengan pengukuran kualitatif, seperti portofolio dan soal-soal pengukuran yang lebih realistis seperti studi kasus dan penilaian presentasi rekaman pita. Ilmu pengetahuan kognitif akan tetap mempengaruhi kawasan ini dalam pengertian pendekatan yang lebih baru untuk cara mendiagnosis.
Teknologi baru telah menimbulkan permasalahan  baru dalam kawasan penilaian. Keadaan ini menuntut kebutuhan akan teknik dan metoda baru, sebagai contoh, perhatian perlu diarahkan pada perbaikan penilaian tentang proyek-proyek belajar jarak jauh. Proyek-proyek ini cenderung dinilai secara dangkal. Perlu diingat bahwa evaluasi belajar jarak jauh mencakup banyak aspek yaitu ketenagaan, fasilitas, peralatan, bahan, pemprogaman. Eksperimentasi formatif dengan menggunakan pendekatan coba-coba skala kecil untuk mempelajari suatu variabel dalam konteks kehidupan yang sesungguhnya.

E.     Peran  dan implikasi penilaian
Analisis, asesmen dan penilaian memainkan peranan penting dalam proses desain pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Di dalam kerangka penilaian yang dikemukakan oleh Worthen dan Sunders (1973;1987 dalam seels & richy 1994) penilaian diartikan sebagai suatu bentuk penelitian yang memanfaatkan sarana penelitian untuk memperoleh cara yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh para teknolog pembelajaran dalam membuat keputusan yang kompleks. Oleh karena itu, penilaian pembelajaran diartikan sebagai suatu bentuk disiplin pengkajian dengan orientasi :
1.      Sistematik
2.      Beracu pada patokan
3.      Cenderung positivistic
Tumbuhnya desain pembelajaran sebagai suatu proses keperilakuan (behaviorist process) mengakibatkan digunakannya tujuan perilaku secara regular. Baik kelemahan maupun keunggulan pembelajaran yang berorientasikan tujuan pada umumnya akan berlanjut dengan digunakannya pengujian beracukan kriteria. Pada dasarnya hampir semua prosedur desain pembelajaran mendorong digunakannya tes beracukan patokan dan bukannya tes beracukan norma. Beberapa panganut konstruktivisme keberatan dengan digunakannya kedua pendekatan yang tradisional tersebut. Mereka memilih untuk mengembangkan pendekatan yang sama sekali berbeda.
Hal yang sama juga terjadi pada penelusuran kebutuhan dari berbagai bentuk analisa tahap awal lain yang lazimnya menggunakan pendekatan keperilakuan. Hal ini terlihat jelas dengan diberikannya perhatian terhadap data kinerja dan pemerincian isi ke dalam bagian-bagian yang membentuknya. Teknik-teknik desain seperti penggunaan hirarki belajar dan analisis tugas pekerjaan jelas berorientasi keperilakuan. Penelusuran kebutuhan yang dikembangkan lebih lanjut oleh para teknolog kinerja, pada dasarnya juga dilaksanakan pada pandangan keperilakuan.
Penekanan pada tujuan kognitif pada jenjang yang lebih tinggi tampaknya lebih menstimulasi kawasan ini, khususnya karena penilaian dengan paradigm kognitif lebih banyak berfungsi diagnostik. Pengetahuan kognitif mempengaruhi cara-cara mendiagnosa kebutuhan belajar dan mempengaruhi cara pengukuran prestasi dalam konteks situasi pembelajaran yang bermakna dan kompleks. Analisis kritis dan inovasi yang berlanjut seperti ini akan mempunyai implikasi penting dalam prosedur asesmen dan penilaian yang secara tradisional telah digunakan dalam bidang ini.

F.     Nilai dan Perspektif Alternatif Bidang Teknologi Pembelajaran
1.      Nilai-nilai Umum
Pada umumnya nilai-nilai yang ada akan berfungsi sebagai landasan berfikir dan berbuat. Nilai-nilai ini mungkin berasal dari pelatihan dan pengalaman kerja yang sama, pembudayaan yang berasal dari teori-teori, atau karakteristik pribadi orang yang tertarik pada suatu disiplin ilmu.
Pada teknologi pembelajaran, sebagai suatu komunitas professional, cenderung untuk menilai konsep sebagai :
a.       Replikabilitas pembelajaran
b.      Individualisasi
c.       Efisiensi
d.      Penggeneralisasian proses isi lintas bidang
e.       Perencanaan terinci
f.       Analisis dan spesifikasi
g.      Kekuatan visual
h.      Manfaat pembelajaran bermedia
Prioritas yang tidak tertulis ini telah berkembang bersamaan dengan pertumbuhan bidang teknologi pembelajaran. Prioritas tersebut telah membentuk ikatan para anggotanya. Banyak diantara anggota tersebut yang lebih tertarik dalam bidang pembelajaran, belajar, teknologi, media, dan desain pembelajaran. Namun komunitas teknologi pembelajaran bersatu tidak hanya karena kesesuaian minat, melainkan juga tradisi dan budaya yang cenderung mengukuhkan kesamaan nilai dan prioritas.
Nilai-nilai disiplin ilmu terbentuk oleh aspek lain dari budaya seperti : penelitian dan teori, keberadaan filosofis yang dominan, hakekat latar dimana aplikasi dilaksanakan, dan terutama dalam hal ini sumber yang tersedia. Walaupun demikian, ada pandangan alternatif lain yang ikut membentuk karya para teknolog pembelajaran.
2.      Perspektif alternatif
Teknologi pembelajaran merupakan bidang studi dengan beragam pandangan dan kompleksitas, meskipun ada sejumlah kesamaan nilai. Konsep paradigma alternatif dalam menemukan dan memverifikasi pengetahuan baru-baru ini telah menjadi focus utama dalam berbagai disiplin ilmu. Ditinjau dari perspektif ilmiah, paradigm alternatif ini memiliki kecenderungan untuk menerima metodologi penelitian kualitatif, penelitian fenomenologis, dan gerakan kea rah psikologi konstruktivis.
Teknologi pembelajaran cenderung mendudukkan dirinya sebagai suatu ilmu, dan oleh karena itu, para teknolog terorientasikan dengan pandangan positivisme. Positivis berpandangan bahwa pengetahuan hakikatnya memiliki sifat-sifat ilmiah, pengamatan objektif dihargai dan hubungan sebab akibat antara berbagai aspek dan lingkungan dikaji. Para positivis selalu berusaha untuk terampil dalam memperdiksi dan mengontrol dampak. Penelitian yang bersifat eksperimental dan kualitatif adalah bentuk penelitian yang disukai. Pandangan ini terlihat jelas dalam penekanannya pada penilaian dan teori yang senantiasa didasarkan pada hasil penelitian.
Meskipun orientasi seperti ini masih dominan dalam banyak disiplin ilmu, namun sekarang ada sejumlah pandangan alternatif yang berkembang di bidang teknologi pembelajaran. Pandangan alternatif ini yang cenderung pada :
a.      Pengkajian kritis atau posisi yang sudah dianggap umum
Pengkajian ini berupa titik atas pandangan yang menekankan pada teknologi pada bidang studi dan pada masyarakat umumnya. Sebagai contoh, Striebel (1991 dalam seels & Richy 1994) mengemukakan pendapat bahwa “computer bukanlah sekedar bentuk lain dari sistem penyampaian tetapi sebagai suatu lingkungan yang memiliki nilai-nilai tertentu dan segala kecondongan yang terkait padanya”.
Mengingat teknologi bukan merupakan satu-satunya hal yang merupakan kepentingan teknolog pembelajaran, ada sejumlah kritik mengenai teknologi dari para teoritis dan filosof di luar bidang, yang memberikan analisis sejalan dengan profesi kita.
b.      Orientasi/ posisi teori alternatif
Salah satu kelompok yang mewakili perspektif teoritis baru adalah para psikolog konstruktivis. Konstruktivisme berpendapat bahwa di samping adanya realitas fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas tersebut berasal dari hasil penafsiran pengalaman.
Konstruktivis cenderung mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada penahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konteks yang kaya baik berupa landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan piranti otentik yang digunakan untuk memecahkan permasalahan.
Perspektif lain, walaupun tidak seluruhnya bertentangan dengan orientasi konstruktivis, mereka memandang penting atas keunggulan dari belajar situasional. Belajar situasional terjadi bilamana siswa mengerjakan tugas otentik dan berlangsung di latar dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi bilamana pengetahuan dan keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual.
Bila orang menekankan pada belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami belajar sebagai suatu proses yang aktif, berlangsung berkesinambungan, dan dinilai lebih pada aplikasi daripada sekedar perolehan. Winn (1993 dalam seels & richy 1994) telah menunjukkan bagaimana prinsip desain pembelajaran dapat diaplikasikan untuk keperluan belajar situasional, dan dalam melaksanakan hal itu ditekankan perlunya “pelajaran diberikan yang bersifat umum sehingga memungkinkan aplikasi dalam berbagai latar”.
Gerakan teknologi kinerja, yang lebih berbasis terapan (Geis, 1986 dalam seels & richy 1994) juga mengajukan perspektif alternatif dalam teknologi pembelajaran. Gerakan ini bagi beberapa orang bahkan dianggap sebagai bidang alternatif lain dari teknologi pembelajaran.
Para teknolog kinerja lebih cenderung mengidentifikasi kebutuhan bisnis dan tujuan organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja, sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah, adalah suatu produk dari berbagai pengaruh teori seperti cybernetics, psikologi perilaku, teori komunikasi, teori informasi, teori sistem, ilmu manajemen, dan ilmu kognitif. Pendapat alternatif ini menunjukkan suatu pola pengaruh dari berbagai teori yang sangat biasa terjadi dalam setiap bidang.
Para teknolog kinerja tidak merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan permasalahannya. Teknologi kinerja akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personel, umpan balik, atau alokasi sumber sebagai intervensi, seperti halnya dulu sewaktu mereka merancang intervensi pembelajaran. Nampanya sulit untuk memahami penggunaan prinsip-prinsip teknologi kinerja diluar batas-batas suatu organisasi, sementara prinsip-prinsip teknologi pembelajaran dapat dengan mudah digunakan dalam berbagai situasi pembelajaran baik dalam organisasi formal maupun tidak.
c.       Landasan filosofis alternatif (Filsafat alternatif).
Filsafat pasca modern mendorong untuk melakukan analisis kritis terhadap berbagai landasan keyakinan tradisional dan nilai-nilai dalam bidang teknologi pembelajaran. Perspektif pasca modern berpegang pada pendapat bahwa teknologi pembelajaran sebagai suatu kiat sekaligus sebagai suatu ilmu.
Hlynka (1991 dalam seels & richy 1994) menjelaskan bahwa post-modernism adalah sebagai “suatu cara berpikir yang menjunjung prinsip keanekaragaman, temporal (bersifat sementara), dan yang kompleks daripada yang bersifat universal, stabil dan sederhana”. Paham ini mensyaratkan bahwa sebuah filsafat atau sebuah teori, tidaklah lebih baik dari pada yang lain, semua teori muncul bersama-sama dan harus digunakan bersama-sama.
Banyak implikasi filsafat pasca modern untuk praktek desain dan teori desain sekarang ini. Yang utama adalah bahwa orientasi pemikiran ini mengembangkan penggunaan paradigma desain baru bukannya menyandarkan pada model desain yang sistematis termasuk dalam orientasi ini adalah suatu kepercayaan pada paradigma estetik dan berbagai model yang memperhatikan pada kekompleksan situasi.
Karena dianjurkannya penggunaan pendekatan multi teori, filsafat pasca modern lebih menyenangi pada hal-hal yang bersifat terbuka dan fleksibel daripada hal-hal yang bersifat tertutup, terstruktur dan kaku. Kepedulian mereka juga terkait pada pembelajaran yang hanya memfokuskan diri pada pengetahuan deklaratif, yaitu pembelajaran yang mengisolasi pebelajar dengan dunia nyata yang ada di sekelilingnya, dan pembelajaran yang menghambat rasa keingintahuan pebelajar.

G.    Pengaruh Teknologi
Penelitian dan teori teknologi pembelajaran sebagai suatu bidang, tidak terlepas dari pengaruh dan kemajuan teknologi. Hal ini terjadi meskipun ada usaha terus-menerus untuk mendefinisikan bidang dalam pengertian proses dan bukannya dalam perangkat keras. Berawal dari penggunaan pembelajaran terprogram” di pertengahan tahun 1950an sampai dengan keberhasilan televisi pembelajaran yang menggunakan prinsip-prinsip desain pembelajaran.
Sekarang ini teknologi-teknologi baru banyak memberikan dorongan pada kemajuan teori dan praktek suatu disiplin. Salomon (1992 dalam seels & richy 1994) menyebutnya sebagai pola pengembangan teori dari bawah ke atas. teknologi-teknologi baru ini memberikan kesempatan pengembangan yang mengarah pada permasalahan-permasalahan yang, termasuk kebutuhan untuk :
a.       Menemukan prinsip-prinsip untuk mengadaptasi pembelajaran dalam situasi yang unik.
b.      Menemukan pendekatan baru dalam mengadaptasi pembelajaran interaktif.
c.       Menemukan pebelajaran dalam lingkungan belajar yang non formal.
Sewaktu mengekplorasi pengaruh teknologi kita dapat mempertimbangkan berbagai kemungkinan sistem penyampaian dan pengaruhnya terhadap belajar dan pembelajaran. Sebagai contoh, teknologi dapat memberikan prospek munculnya stimulus yang realistic, memberikan akses terhadap sejumlah besar informasi dalam waktu yang cepat, dan tepat menghilangkan hambatan jarak antara pengajar dan pebelajar, dan antara pebelajar itu sendiri. Perancang yang terampil dan kreatif dapat menghasilkan produk pembelajaran yang dapat memberikan keunggulan dalam :
a.       Mengintegrasikan media.
b.      Menyelenggarakan pengendalian atas pebelajar yang jumlahnya hamper tidak terbatas, dan bahkan
c.       Mendesain kembali untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan, latar belakang dan lingkungan kerja setiap individu.
Kemajuan dalam teknologi akan banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi pembelajaran, perubahan ini juga akan berimplikasi pada penelitian dan perluasan teori. Sebagai contoh, lingkungan belajar yang menggunakan teknologi baru memberikan kesempatan kepada para peneliti untuk lebih rinci lagi dalam menjelaskan peranan dan pengaruh interaksi yang intensif dan kompleks dalam belajar, dan akibat dari interaksi kemampuan bakat.
Sebaliknya, bila kita mempertimbangkan pengaruh dengan penggunaan teknologi, maka orientasi pertanyaan akan berbeda. Pertanyaan-pertanyaan akan lebih berfokus pada pengaruh pasangan intelektual antara pebelajar dan teknologi, terhadap peranan lingkungan yang didukung teknologi pada proses kognitif dan berfikir jenjang yang lebih tinggi. Dari sudut pandang ini, teknologi dapat menjadi suatu kekuatan yang mendorong pada teori dan praktek yang lebih berorientasi pada kognisi.




DAFTAR PUSTAKA


Seels, Barbara B. & Richy, Rita C. (1994). Instructional Technology. Washington DC : AECT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar