KAWASAN
PENILAIAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
A.
Pengertian
Penilaian
Dalam
arti yang luas penilaian adalah aktivitas manusia sehari-hari. Dalam kehidupan
sehari-hari kita selalu menakar nilai aktivitas atau kejadian berdasarkan
kepada sistem penilaian tertentu. Pengembangan program pendidikan formal menuntut perlunya
program penilaian yang bersifat formal pula. Penilaian program-program ini
memerlukan penerapan prosedur yang lebih sistematik dan ilmiah.
Berikut
ini adalah yang termasuk dalam kawasan penilaian :
PENILAIAN
|
Analisis Masalah
Pengukuran Beracukan Patokan
Penilaian Formatif
Penilaian Sumatif
|
Ahli
kurikulum Ralph Tyler dikenal orang sebagai pencetus gagasan tentang penilaian
pada tahun-tahun 1930an. Pada tahun 1965 hal
tersebut terlihat dalam naskah “Ele
mentary
and Secondary Education Act” (Undang-undang Pendidikan Dasar dan Menengah
A.S) yang memberikan wewenang perlunya diadakan analisis kebutuhan dan
penilaian untuk jenis-jenis program tertentu.
Pada
akhir tahun 1960an Stufflebeam memperkenalkan pendekatan lain untuk penilaian yang
sekarang menjadi karya klasik yaitu menelaah “bukan untuk membuktikan tapi
untuk memperbaiki”. Model Stufflebeam
ini mengemukakan empat jenis penilaian : context,
input, proses, and product (CIPP). Keempat unsur dalam model CIPP
memberikan informasi yang masing-masing berhubungan dengan analisis kebutuhan,
keputusan desain tentang isi dan strategi, petunjuk pelaksanaan, serta hasil
penilaian (Branden,
1992 dalam seels and richy 1994).
Dalam
pendidikan penilaian diartikan sebagai
proses penentuan memadai tidaknya belajar dan pembelajaran. Penilaian dimulai
dengan analisis masalah, Ini merupakan langkah awal yang penting dalam
pengembangan dan penilaian pembelajaran karena tujuan dan hambatan dijelaskan
pada langkah ini. Kegiatan penilaian dilakukan secara teliti, akurat, dan
sistematis merupakan urusan bersama antara evaluator dan klien.
B.
Tujuan
Penilaian
Tujuan penilaian ialah membantu pengambilan
keputusan yang tepat, bukannya untuk menguji hipotesa. Dengan demikian,
penelitian penilaian dan penelitian tradisional, dibedakan menurut beberapa
karakteristik. Walaupun keduanya menggunakan instrument yang sama, namun tujuannya berbeda.
Tujuan penelitian tradisional secara garis besar ialah peningkatan ilmu. Sedangkan
tujuan penelitian penilaian adalah untuk mendapatkan data untuk pengambilan
keputusan memperbaiki, memperluas, atau menghentikan suatu proyek, program,
atau produk.
C.
Jenis
Kawasan Penilaian
Dalam
kawasan penilaian dibedakan pengertian antara penilaian program, penilaian
proyek dan penilaian produk. Masing-masing merupakan jenis penilaian penting
untuk perancang
pembelajaran, seperti halnya penilaian formatif dan penilaian sumatif.
The Joint Committee on
Standards for Educational Evaluation
(Komisi gabungan standar penilaian pendidikan) pada tahun 1981 memberikan
definisi untuk masing-masing jenis penilaian sebagai berikut :
1.
Penilaian
Program
Penilaian program adalah evaluasi yang
menaksir kegiatan pendidikan yang memberikan pelayanan secara berkesinambungan
dan sering terlibat dalam penyusunan kurikulum. Sebagai contoh misalnya
penilaian untuk program membaca dalam suatu wilayah persekolahan, program
pendidikan khusus dari pemerintah daerah, atau suatu program pendidikan
berkelanjutan dari suatu universitas.
2.
Penilaian
Proyek
Yaitu evaluasi untuk menaksir kegiatan
yang dibiayai secara khusus guna melakukan suatu tugas tertentu dalam suatu
kurun waktu. Sebagai contoh, suatu lokakarya 3 hari mengenai tujuan perilaku
atau suatu proyek demonstrasi pendidikan karir yang lamanya tiga tahunan.
Kunci perbedaan antara program dan
proyek ialah bahwa program diharapkan berlangsung dalam waktu yang tidak
terbatas, sedangkan proyek biasanya diharapkan berjangka pendek. Proyek yang
dilembagakan dalam kenyataannya dijadikan program.
3.
Penilaian
Bahan (Produk Pembelajaran)
Yaitu menafsir kebaikan atau manfaat isi
yang menyangkut benda-benda fisik, termasuk buku, pedoman kurikulum, film, pita
rekaman, dan produk pembelajaran lainnya yang dapat dipegang.
D.
Sub-Kawasan
dalam Kawasan Penilaian
Dalam
kawasan penilaian terdapat empat sub-kawasan, yaitu :
1.
Analisis
Masalah
Analisis masalah mencakup cara penentuan
sifat dan parameter masalah dengan menggunakan strategi pengumpulan informasi
dan pengambilan keputusan.
Jadi kegiatan penilaian meliputi
identifikasi kebutuhan, penentuan sejauh mana masalahnya dapat diklasifikasikan
sebagai pembelajaran, identifikasi hambatan, sumber dan karekateristik pebelajar,
serta penentuan tujuan dan prioritas.
2.
Pengukuran
acuan-patokan (PAP)
Pengukuran
acuan patokan meliputi teknik-teknik untuk menentukan kemampuan pebelajar
meliputi teknik-teknik menentukan kemampuan pebelajar menguasai materi yang
telah ditentukan sebelumnya. Pengukuran acuan patokan, yang sering berupa tes,
juga dapat disebut acuan isi, acuan tujuan, atau acuan kawasan. Sebab, kriteria
tentang cukup tidaknya hasil belajar ditentukan oleh seberapa jauh pebelajar
telah mencapai tujuan. PAP memberikan informasi tentang penguasaan seseorang
mengenai pengetahuan, sikap, atau keterampilan yang berkaitan dengan tujuan.
3.
Penilaian
formatif dan Penilaian Sumatif
Penilaian formatif berkaitan dengan
pengumpulan informasi tentang kecukupan dan penggunaan informasi sebagai dasar
pengembangan selanjutnya. sedangkan
penilaian sumatif berkaitan dengan pengumpulan informasi tentang kecukupan
untuk pengambilan keputusan dalam hal pemanfaatan.
Penekanan baik untuk penilaian formatif pada
tahap-tahap awal dari pengembangan produk, maupun penilaian sumatif setelah
kegiatan pembelajaran merupakan perhatian utama dari para teknolog
pembelajaran.
Keseimbangan antara pengukuran
kuantitatif dan kualitatif perlu mendapat perhatian yang cukup dalam penilaian
formatif maupun sumatif. Pengukuran kuantitatif lazim berhubungan dengan
angka-angka dan biasanya bekerja menurut gagasan pengukuran objektif.
Pengukuran kualitatif lebih menekankan pada aspek-aspek subjektif dan bersifat
pengkajian proyek. Hasil pengukuran kualitatif biasanya dilaporkan dalam bentuk
uraian variabel.
4.
Kecenderungan
dan permasalahan
Perhatian pada konteks jelas terlihat
pada gerakan teknologi kinerja, teori belajar situasional dan pada pendekatan
yang lebih sistemik terhadap desain. Sebagai konsekuensinya, tahap penilaian
kebutuhan menjadi semakin penting. Disamping itu, banyak yang memberikan
rekomendasi agar tahap penilaian kebutuhan tugasnya diperluas, tidak hanya
berkonsentrasi pada isi, melainkan ditambah dengan penekanan baru pada analisis
pebelajar, lingkungan, dan organisasi. Gerakan teknologi kinerja juga
memberikan sumbangan penting pada penilaian kebutuhan yang baru ini.
Pendekatan-pendekatan teknologi kinerja dapat memperluas peran para perancang
mencakup identifikasi, permasalahan yang bukan bersifat pembelajaran serta
bekerja sama dengan pihak lain untuk mendapatkan pemecahan masalah yang
bersifat majemuk.
Gerakan perbaikan kualitas juga
mempengaruhi kawasan penilaian.
Pengendalian kualitas memerlukan penilaian yang berkelanjutan termasuk
perluasan siklus di luar penilaian sumatif. Penilaian konfirmatif merupakan
langkah logis berikutnya dalam siklus ini.
Bidang-bidang lain yang penting untuk
diperhatikan ialah pengukuran untuk tujuan kognitif tingkatan tinggi, tujuan afektif, dan
tujuan psikomotor. Penelitian tentang pengukuran acuan patokan yang berasaskan komputer akan merangsang
kawasan ini. Demikian juga halnya dengan pengukuran kualitatif, seperti portofolio
dan soal-soal pengukuran yang lebih realistis seperti studi kasus dan penilaian
presentasi rekaman pita. Ilmu pengetahuan kognitif akan tetap mempengaruhi kawasan
ini dalam pengertian pendekatan yang lebih baru untuk cara mendiagnosis.
Teknologi baru telah menimbulkan
permasalahan baru dalam kawasan
penilaian. Keadaan ini menuntut kebutuhan akan teknik dan metoda baru, sebagai
contoh, perhatian perlu diarahkan pada perbaikan penilaian tentang
proyek-proyek belajar jarak jauh. Proyek-proyek ini cenderung dinilai secara
dangkal. Perlu diingat bahwa evaluasi belajar jarak jauh mencakup banyak aspek
yaitu ketenagaan, fasilitas, peralatan, bahan, pemprogaman. Eksperimentasi
formatif dengan menggunakan pendekatan coba-coba skala kecil untuk mempelajari
suatu variabel dalam konteks kehidupan yang sesungguhnya.
E.
Peran
dan implikasi penilaian
Analisis,
asesmen dan penilaian memainkan peranan penting dalam proses desain
pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Di dalam kerangka penilaian yang
dikemukakan oleh Worthen dan Sunders (1973;1987 dalam seels & richy 1994) penilaian diartikan
sebagai suatu bentuk penelitian yang memanfaatkan sarana penelitian untuk
memperoleh cara yang nantinya dapat dimanfaatkan oleh para teknolog
pembelajaran dalam membuat keputusan yang kompleks. Oleh karena itu, penilaian
pembelajaran diartikan sebagai suatu bentuk disiplin pengkajian dengan
orientasi :
1. Sistematik
2. Beracu
pada patokan
3. Cenderung
positivistic
Tumbuhnya
desain pembelajaran sebagai suatu proses keperilakuan (behaviorist process) mengakibatkan digunakannya tujuan perilaku
secara regular. Baik kelemahan maupun keunggulan pembelajaran yang
berorientasikan tujuan pada umumnya akan berlanjut dengan digunakannya
pengujian beracukan kriteria. Pada dasarnya hampir semua prosedur desain pembelajaran
mendorong digunakannya tes beracukan patokan dan bukannya tes beracukan norma.
Beberapa panganut konstruktivisme keberatan dengan digunakannya kedua
pendekatan yang tradisional tersebut. Mereka memilih untuk mengembangkan
pendekatan yang sama sekali berbeda.
Hal
yang sama juga terjadi pada penelusuran kebutuhan dari berbagai bentuk analisa
tahap awal lain yang lazimnya menggunakan pendekatan keperilakuan. Hal ini
terlihat jelas dengan diberikannya perhatian terhadap data kinerja dan
pemerincian isi ke dalam bagian-bagian yang membentuknya. Teknik-teknik desain
seperti penggunaan hirarki belajar dan analisis tugas pekerjaan jelas berorientasi
keperilakuan. Penelusuran kebutuhan yang dikembangkan lebih lanjut oleh para
teknolog kinerja, pada dasarnya juga dilaksanakan pada pandangan keperilakuan.
Penekanan
pada tujuan kognitif pada jenjang yang lebih tinggi tampaknya lebih
menstimulasi kawasan ini, khususnya karena penilaian dengan paradigm kognitif
lebih banyak berfungsi diagnostik. Pengetahuan kognitif mempengaruhi cara-cara
mendiagnosa kebutuhan belajar dan mempengaruhi cara pengukuran prestasi dalam
konteks situasi pembelajaran yang bermakna dan kompleks. Analisis kritis dan
inovasi yang berlanjut seperti ini akan mempunyai implikasi penting dalam
prosedur asesmen dan penilaian yang secara tradisional telah digunakan dalam
bidang ini.
F.
Nilai
dan Perspektif Alternatif Bidang Teknologi Pembelajaran
1.
Nilai-nilai
Umum
Pada umumnya nilai-nilai yang ada akan
berfungsi sebagai landasan berfikir dan berbuat. Nilai-nilai ini mungkin
berasal dari pelatihan dan pengalaman kerja yang sama, pembudayaan yang berasal
dari teori-teori, atau karakteristik pribadi orang yang tertarik pada suatu
disiplin ilmu.
Pada teknologi pembelajaran, sebagai
suatu komunitas professional, cenderung untuk menilai konsep sebagai :
a. Replikabilitas
pembelajaran
b. Individualisasi
c. Efisiensi
d. Penggeneralisasian
proses isi lintas bidang
e. Perencanaan
terinci
f. Analisis
dan spesifikasi
g. Kekuatan
visual
h. Manfaat
pembelajaran bermedia
Prioritas yang tidak tertulis ini telah
berkembang bersamaan dengan pertumbuhan bidang teknologi pembelajaran.
Prioritas tersebut telah membentuk ikatan para anggotanya. Banyak diantara
anggota tersebut yang lebih tertarik dalam bidang pembelajaran, belajar,
teknologi, media, dan desain pembelajaran. Namun komunitas teknologi
pembelajaran bersatu tidak hanya karena kesesuaian minat, melainkan juga
tradisi dan budaya yang cenderung mengukuhkan kesamaan nilai dan prioritas.
Nilai-nilai disiplin ilmu terbentuk oleh
aspek lain dari budaya seperti : penelitian dan teori, keberadaan filosofis
yang dominan, hakekat latar dimana aplikasi dilaksanakan, dan terutama dalam
hal ini sumber yang tersedia. Walaupun demikian, ada pandangan alternatif lain
yang ikut membentuk karya para teknolog pembelajaran.
2.
Perspektif
alternatif
Teknologi pembelajaran merupakan bidang
studi dengan beragam pandangan dan kompleksitas, meskipun ada sejumlah kesamaan
nilai. Konsep paradigma
alternatif dalam menemukan dan memverifikasi
pengetahuan baru-baru ini telah menjadi focus utama dalam berbagai disiplin
ilmu. Ditinjau dari perspektif ilmiah, paradigm alternatif ini memiliki
kecenderungan untuk menerima metodologi penelitian kualitatif, penelitian
fenomenologis, dan gerakan kea rah psikologi konstruktivis.
Teknologi pembelajaran cenderung
mendudukkan dirinya sebagai suatu ilmu, dan oleh karena itu, para teknolog
terorientasikan dengan pandangan positivisme. Positivis berpandangan bahwa
pengetahuan hakikatnya memiliki sifat-sifat ilmiah, pengamatan objektif
dihargai dan hubungan sebab akibat antara berbagai aspek dan lingkungan dikaji.
Para positivis selalu berusaha untuk terampil dalam memperdiksi dan mengontrol
dampak. Penelitian yang bersifat eksperimental dan kualitatif adalah bentuk
penelitian yang disukai. Pandangan ini terlihat jelas dalam penekanannya pada
penilaian dan teori yang senantiasa didasarkan pada hasil penelitian.
Meskipun orientasi seperti ini masih
dominan dalam banyak disiplin ilmu, namun sekarang ada sejumlah pandangan
alternatif yang berkembang di bidang teknologi pembelajaran. Pandangan alternatif
ini yang cenderung pada :
a.
Pengkajian
kritis atau posisi yang sudah dianggap umum
Pengkajian
ini berupa titik atas
pandangan yang menekankan pada teknologi pada bidang studi dan pada masyarakat
umumnya. Sebagai contoh, Striebel (1991
dalam seels & Richy 1994) mengemukakan pendapat
bahwa “computer bukanlah sekedar bentuk lain dari sistem penyampaian tetapi
sebagai suatu lingkungan yang memiliki nilai-nilai tertentu dan segala kecondongan
yang terkait padanya”.
Mengingat
teknologi bukan merupakan satu-satunya hal yang merupakan kepentingan teknolog
pembelajaran, ada sejumlah kritik mengenai teknologi dari para teoritis dan
filosof di luar bidang, yang memberikan analisis sejalan dengan profesi kita.
b.
Orientasi/ posisi teori alternatif
Salah
satu kelompok yang mewakili perspektif teoritis baru adalah para psikolog
konstruktivis. Konstruktivisme berpendapat bahwa di samping adanya realitas
fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas tersebut berasal dari hasil
penafsiran pengalaman.
Konstruktivis
cenderung mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada penahapan
kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konteks yang kaya baik
berupa landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan piranti otentik yang
digunakan untuk memecahkan permasalahan.
Perspektif
lain, walaupun tidak seluruhnya bertentangan dengan orientasi konstruktivis,
mereka memandang penting atas keunggulan dari belajar situasional. Belajar
situasional terjadi bilamana siswa mengerjakan tugas otentik dan berlangsung di
latar dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi bilamana pengetahuan
dan keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual.
Bila
orang menekankan pada belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah
memahami belajar sebagai suatu proses yang aktif, berlangsung berkesinambungan,
dan dinilai lebih pada aplikasi daripada sekedar perolehan. Winn (1993 dalam seels & richy 1994)
telah menunjukkan bagaimana prinsip desain pembelajaran dapat diaplikasikan
untuk keperluan belajar situasional, dan dalam melaksanakan hal itu ditekankan
perlunya “pelajaran diberikan yang bersifat umum sehingga memungkinkan aplikasi
dalam berbagai latar”.
Gerakan
teknologi kinerja, yang lebih berbasis terapan (Geis, 1986 dalam seels & richy 1994)
juga mengajukan perspektif alternatif dalam teknologi pembelajaran. Gerakan ini
bagi beberapa orang bahkan dianggap
sebagai bidang alternatif lain dari teknologi pembelajaran.
Para
teknolog kinerja lebih cenderung mengidentifikasi kebutuhan bisnis dan tujuan
organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja, sebagai suatu
pendekatan pemecahan masalah, adalah suatu produk dari berbagai pengaruh teori
seperti cybernetics, psikologi perilaku, teori komunikasi, teori informasi,
teori sistem, ilmu manajemen, dan ilmu kognitif. Pendapat alternatif ini menunjukkan
suatu pola pengaruh dari berbagai teori yang sangat biasa terjadi dalam setiap
bidang.
Para
teknolog kinerja tidak merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi
dalam memecahkan permasalahannya. Teknologi kinerja akan cenderung memperhatikan
peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personel, umpan balik, atau
alokasi sumber sebagai intervensi, seperti halnya dulu sewaktu mereka merancang
intervensi pembelajaran. Nampanya sulit untuk memahami penggunaan
prinsip-prinsip teknologi kinerja diluar batas-batas suatu organisasi,
sementara prinsip-prinsip teknologi pembelajaran dapat dengan mudah digunakan
dalam berbagai situasi pembelajaran baik dalam organisasi formal maupun tidak.
c.
Landasan
filosofis alternatif (Filsafat alternatif).
Filsafat
pasca modern mendorong untuk melakukan analisis kritis terhadap berbagai
landasan keyakinan tradisional dan nilai-nilai dalam bidang teknologi
pembelajaran. Perspektif pasca modern berpegang pada pendapat bahwa teknologi
pembelajaran sebagai suatu kiat sekaligus sebagai suatu ilmu.
Hlynka
(1991 dalam seels & richy 1994)
menjelaskan bahwa post-modernism adalah sebagai “suatu cara berpikir yang
menjunjung prinsip keanekaragaman, temporal (bersifat sementara), dan yang
kompleks daripada yang bersifat universal, stabil dan sederhana”. Paham ini mensyaratkan
bahwa sebuah filsafat atau sebuah teori, tidaklah lebih baik dari pada yang
lain, semua teori muncul bersama-sama dan harus digunakan bersama-sama.
Banyak
implikasi filsafat pasca modern untuk praktek desain dan teori desain sekarang
ini. Yang utama adalah bahwa orientasi pemikiran ini mengembangkan penggunaan
paradigma desain baru bukannya menyandarkan pada model desain yang sistematis
termasuk dalam orientasi ini adalah suatu kepercayaan pada paradigma estetik
dan berbagai model yang memperhatikan pada kekompleksan situasi.
Karena
dianjurkannya penggunaan pendekatan multi teori, filsafat pasca modern lebih
menyenangi pada hal-hal yang bersifat terbuka dan fleksibel daripada hal-hal
yang bersifat tertutup, terstruktur dan kaku. Kepedulian mereka juga terkait
pada pembelajaran yang hanya memfokuskan diri pada pengetahuan deklaratif,
yaitu pembelajaran yang mengisolasi pebelajar dengan dunia nyata yang ada di
sekelilingnya, dan pembelajaran yang menghambat rasa keingintahuan pebelajar.
G.
Pengaruh
Teknologi
Penelitian
dan teori teknologi pembelajaran sebagai suatu bidang, tidak terlepas dari
pengaruh dan kemajuan teknologi. Hal ini terjadi meskipun ada usaha
terus-menerus untuk mendefinisikan bidang dalam pengertian proses dan bukannya
dalam perangkat keras. Berawal dari penggunaan pembelajaran terprogram” di
pertengahan tahun 1950an sampai dengan keberhasilan televisi pembelajaran yang
menggunakan prinsip-prinsip desain pembelajaran.
Sekarang
ini teknologi-teknologi baru banyak memberikan dorongan pada kemajuan teori dan
praktek suatu disiplin. Salomon (1992
dalam seels & richy 1994) menyebutnya sebagai
pola pengembangan teori dari bawah ke atas. teknologi-teknologi baru ini memberikan
kesempatan pengembangan yang mengarah pada permasalahan-permasalahan yang,
termasuk kebutuhan untuk :
a. Menemukan
prinsip-prinsip untuk mengadaptasi pembelajaran dalam situasi yang unik.
b. Menemukan
pendekatan baru dalam mengadaptasi pembelajaran interaktif.
c. Menemukan
pebelajaran dalam lingkungan belajar yang non formal.
Sewaktu
mengekplorasi pengaruh teknologi kita
dapat mempertimbangkan berbagai kemungkinan sistem penyampaian dan pengaruhnya
terhadap belajar dan pembelajaran. Sebagai contoh, teknologi dapat memberikan
prospek munculnya stimulus yang realistic, memberikan akses terhadap sejumlah
besar informasi dalam waktu yang cepat, dan tepat menghilangkan hambatan jarak
antara pengajar dan pebelajar, dan antara pebelajar itu sendiri. Perancang yang
terampil dan kreatif dapat menghasilkan produk pembelajaran yang dapat
memberikan keunggulan dalam :
a. Mengintegrasikan
media.
b. Menyelenggarakan
pengendalian atas pebelajar yang jumlahnya hamper tidak terbatas, dan bahkan
c. Mendesain
kembali untuk kemudian disesuaikan dengan kebutuhan, latar belakang dan
lingkungan kerja setiap individu.
Kemajuan
dalam teknologi akan banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi
pembelajaran, perubahan ini juga akan berimplikasi pada penelitian dan
perluasan teori. Sebagai contoh, lingkungan belajar yang menggunakan teknologi
baru memberikan kesempatan kepada para peneliti untuk lebih rinci lagi dalam
menjelaskan peranan dan pengaruh interaksi yang intensif dan kompleks dalam
belajar, dan akibat dari interaksi kemampuan bakat.
Sebaliknya,
bila kita mempertimbangkan pengaruh dengan penggunaan teknologi, maka orientasi
pertanyaan akan berbeda. Pertanyaan-pertanyaan akan lebih berfokus pada
pengaruh pasangan intelektual antara pebelajar dan teknologi, terhadap peranan
lingkungan yang didukung teknologi pada proses kognitif dan berfikir jenjang
yang lebih tinggi. Dari sudut pandang ini, teknologi dapat menjadi suatu
kekuatan yang mendorong pada teori dan praktek yang lebih berorientasi pada
kognisi.
DAFTAR
PUSTAKA
Seels, Barbara B. & Richy, Rita C. (1994). Instructional Technology.
Washington DC : AECT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar